Faktor yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial. Seorang anak memiliki waktu yang cukup banyak untuk berada di lingkungan sekolah atau berada di luar sekolah bersama teman2 satu sekolah.
Budaya sekolah yang akan dikembangkan melalui pendidikan karakter ini, mestinya diawali dengan pembinaan karakter guru. Menjadi karakter yang benar2 pantas di gugu dan di tiru. Pengembangan budaya sekolah akan menjadi efektif jika di dukung oleh sistim yang sudah dirancang dengan baik, sehingga suasana kondusif yang tercipta menghasilkan kesesuaian norma-norma yang dapat dikembangkan oleh semua unsur sekolah. Iklim kerja yang baik menciptakan etos kerja yang baik. Jangan sampai terjadi di suatu sekolah guru-guru yang memiliki dedikasi dan etos kerja, menjadi seperti makhluk aneh, seolah jadi “kerajinan sendiri”. Ini artinya budaya sekolah belum berjalan dengan baik, yang berimbas pada pendidikan karakter tak akan berjalan dengan efektif.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter di sekolah, tidak bisa lagi hanya “memberi contoh” tapi harus bisa “menjadi contoh”. Misalnya memberi contoh keuletan orang-orang sukses, sementara di mata siswa sang guru menunjukkan kerapuhannya. Menyuruh anak-anak gemar membaca, sementara tugas siswa saja jarang diperiksa, apalagi membaca tulisannya. Mengoreksi hasil kerja siswa sudah gak sempat lagi, tapi masih punya banyak waktu untuk ‘ngerumpi’.
Memang gak gampang ya jadi guru, sebuah profesi yang terlanjur dibingkai masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah akronim, di gugu dan di tiru. Ini berat sekali, karena guru juga manusia biasa, sama saja dengan profesi lain, tak lepas dari keliru. Sebagaimana halnya ragam tipe manusia, guru pun tak lepas dari prilaku minor yang tak patut di tiru. Ada yang naif dan lugu, ada yang pintar bahkan sok tahu.
Alangkah baiknya jika setiap dinas pendidikan wilayah maupun propinsi, mewajibkan tiap sekolah atau satuan pendidikan, mengadakan pelatihan bagi seluruh guru2nya. Tujuan intinya untuk pengembangan pribadi, kualitas diri, etos kerja hingga motivasi. Kegiatan ini bisa dilakukan secara berkala, menjadi sebuah penyegaran. Pelaksanaanya bisa menjadi bagian dari Rapat Kerja yang dilaksanakan sekolah2 setiap menjelang tahun ajaran. Jika seluruh guru menjadi pribadi2 yang berkualitas, mungkin akronim di gugu dan di tiru menjasi pantas disandang tanpa ragu.
Jika kita mau jujur menerima kekurangan yang ada sambil membuka diri terhadap perbaikan, maka semua akan bisa dijalani tanpa beban. Penuhi kewajiban, maka layak menuntut hak. Barangkali ini hanya sebuah koreksi, boleh jadi hal-hal minor ini ada dalam diri saya, anda, dan kita semua, yuuk kita perbaiki sama-sama. Karena disinilah ladang kita, yang harus dijalani dengan professional. Profesi yang dijalani dengan penuh dedikasi dan keikhlasan, bisa menjadi ladang pahala juga khan. Yang penting mau membuka diri terhadap kekurangan yang ada.
Jakarta, 17 Juli 2011
Salam Hangat & Semangat,
Etty Lismiati
keren bu
SukaSuka
Makasih…:)
SukaSuka